Dalam acara BNI Investor Daily Summit 2024, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan fakta mencolok mengenai industri hilirisasi nikel di Indonesia. Bahlil menuturkan bahwa sekitar 85% dari industri ini masih dikuasai oleh perusahaan asing.
Pernyataan ini mencerminkan tantangan serius yang dihadapi sektor pengolahan nikel di tanah air, terutama dalam hal pendanaan. Pendanaan dari pihak asing dinilai memberikan bantuan yang cukup besar untuk operasional di industri ini.
Baca Juga: Indonesia Targetkan Jadi Pemimpin Global dalam Hilirisasi Nikel
Bank Lokal Sulit Berikan Kredit, Hilirisasi Nikel Andalkan Pembiayaan Dari Bank Asing
Bahlil menjelaskan bahwa ketergantungan pada bank asing dalam pembiayaan proyek hilirisasi tambang nikel disebabkan oleh keengganan bank lokal untuk memberikan kredit dengan syarat yang lebih menguntungkan bagi pengusaha lokal. Menurutnya, bank dalam negeri umumnya meminta ekuitas sebesar 30% hingga 40%, yang sulit dipenuhi oleh banyak pengusaha lokal.
Sebagai akibat dari kondisi ini, pengusaha cenderung memilih untuk meminjam dana dari bank asing, meskipun hal ini datang dengan konsekuensi berat. Bahlil menggarisbawahi bahwa ketika mereka mendapat pinjaman dari bank luar negeri, hingga 60% dari pendapatan ekspor mereka harus digunakan untuk membayar utang pokok dan bunga.
Pihak Perbankan Lokal Diminta Turunkan Syarat Ekuitas Untuk Bantu Industri Hilirisasi Nikel
Bahlil mencatat bahwa meskipun 85% hingga 90% izin usaha pertambangan (IUP) masih dipegang oleh pengusaha domestik, mereka sering kali terjebak dalam lingkaran ketergantungan yang sama. Pengusaha yang bergerak dalam hilirisasi nikel dalam negeri, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sering kali terpaksa mencari dana di luar negeri untuk proyek-proyek besar.
Baca Juga: Pemerintah Indonesia Perluas Program Hilirisasi di Sektor Tambang untuk Tingkatkan Ekonomi
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga pernah memberi peringatan kepada Bahlil tentang pentingnya tidak terlalu mengagung-agungkan potensi investasi nikel, mengingat bahwa nilai tambah dari industri ini banyak mengalir ke luar negeri. Hal ini menyoroti adanya tantangan dalam menciptakan manfaat yang lebih besar bagi ekonomi domestik dari pengolahan sumber daya alam.
Untuk mengatasi masalah ini, Bahlil mengusulkan agar perbankan dalam negeri, khususnya Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), lebih aktif dalam memberikan pembiayaan dengan syarat ekuitas yang lebih rendah. Namun, ia juga mencatat bahwa pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk mengintervensi keputusan bank dalam hal pembiayaan.
Dengan kondisi saat ini, tantangan yang dihadapi industri hilirisasi nikel di Indonesia sangat kompleks, dan membutuhkan perhatian serta tindakan bersama dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa sumber daya alam Indonesia memberikan manfaat yang lebih besar bagi rakyat dan ekonomi nasional.
Sumber: ekonomi.bisnis.com