Saturday, November 9, 2024
HomeEnergyHilirisasi Nikel Indonesia Hadapi Tantangan Emisi Karbon

Hilirisasi Nikel Indonesia Hadapi Tantangan Emisi Karbon

Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) merilis laporan terbaru yang mengungkap tantangan serius dalam program hilirisasi nikel Indonesia. Ketergantungan terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dalam proses produksi berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara signifikan.

Empat perusahaan nikel terkemuka Indonesia yaitu Antam, Merdeka Battery Materials (MBMA), Harita Nickel, dan Vale Indonesia yang menguasai seperempat produksi nasional dengan total 350.000 ton pada 2023, diproyeksikan akan meningkatkan emisi GRK hingga 38,5 juta ton karbon dioksida pada 2028. Angka ini sejalan dengan rencana peningkatan kapasitas produksi mereka menjadi 1,05 juta ton logam nikel.

Baca Juga: Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia Desak Kebijakan Inklusif untuk Hilirisasi Nikel

“Dengan pertumbuhan laba yang mencapai 996 juta dollar AS dan pendapatan 6,8 miliar dollar AS pada 2023, sudah waktunya perusahaan-perusahaan ini mempercepat transisi dari batubara,” tegas Analis Keuangan Energi IEEFA, Ghee Peh, dalam laporannya.

4 Perusahaan Maksimalkan Pengendalian Emisi Terkait Hilirisasi Nikel

Data IEEFA menunjukkan variasi signifikan dalam intensitas emisi antar keempat perusahaan tersebut. Antam tercatat sebagai penghasil emisi tertinggi dengan 69,9 ton CO2 per ton nikel, diikuti Harita (68,4 ton), MBMA (56,9 ton), dan Vale dengan emisi terendah 28,7 ton CO2 per ton nikel. Keunggulan Vale dalam pengendalian emisi didukung oleh penggunaan energi terbarukan mencapai 30,1% melalui PLTA dan pembangkit listrik berbasis biodiesel.

“Keberhasilan Vale dalam mengintegrasikan energi terbarukan membuktikan bahwa industri tambang dan hilirisasi nikel Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada PLTU sambil mempertahankan produktivitas,” jelas Ghee Peh. Ia menambahkan bahwa pemanfaatan energi air, surya, atau energi terbarukan lainnya menjadi kunci untuk menurunkan intensitas emisi secara signifikan.

Baca Juga: Prabowo Perluas Target Program Hilirisasi Nasional, 28 Komoditas Strategis Siap Dioptimalkan

Hilirisasi Nikel Dan Transisi Energi Jadi Program yang Disorot Di Industri Tambang

Dibandingkan dengan Vale, 3 perusahaan lain masih dinilai masih berada dalam tahap awal transisi energi. Harita berencana membangun PLTS berkapasitas 300 megawatt pada 2025, yang diharapkan dapat menurunkan intensitas emisi setara Vale. MBMA juga berencana menggunakan PLTS meski belum merinci kapasitasnya. Antam mengambil pendekatan berbeda dengan berencana beralih ke listrik PLN yang bersumber dari gas dan PLTU.

Laporan yang dirilis IEEFA ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara aspirasi ekonomi program hilirisasi nikel dengan tanggung jawab lingkungan, terutama mengingat peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global bahan baku kendaraan listrik.

Sumber: lestari.kompas.com

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular